Masyarakat Manggarai telah mengenal tradisi pembagian lahan sawah dan kebun dengan sebutan lingko. Keberadaan tanah dan adat di Manggarai diibaratkan seperti gula di dalam manisnya madu, tak terpisahkan. Tembong one, lengko pe’ang, kata orang Manggarai, atau setidaknya dituliskan oleh Vinadi GM, peneliti dan seorang romo muda yang tengah menuntaskan disertasinya tentang Manggarai di salah satu negara Eropa. Arti ungkapan tersebut ialah gendang di dalam, tanah ulayat di luar. Makna itu dalam, dimana sebuah gendang yang menggantung di tiang utama sebuah rumah induk adat (mbaru gendang). Itu merupakan manifestasi kekuasaan adat beserta pemangkunya (dalu dan tua teno) dan tanah merupakan satu ungkapan territorial kekuasaan tersebut.
Lingko adalah tanah adat yang 
dimiliki secara komunal dan merupakan bekal untuk memenuhi kebutuhan 
bersama. Tanah dibagikan pada anggota mayarakat sesuai ketentuan adat. 
Keberadaan sebuah kampung pastilah dipusatkan di sebuah mbaru gendang dimana lingko pastilah ada.
Lingko diperkirakan telah ada 
saat manusia di Flores mulai berpindah kebiasaan dari berburu menjadi 
agraris yang menetap. Berikutnya terbentuk sebuah kampung yang disebut beo. Warga sebuah beo memiliki kemampuan merambah hutan untuk dijadikan lahan garapan. Berapa luas sebuah lingko maka itu tergantung kemampuan merambah dan jumlah masyarakat dalam sebuah beo. 
Berapa besar pembagian dalam lodok tergantung dari jumlah penerima hasil, relasi dengan para tuan tanah serta status dalam sebuah beo. Tu’a teno biasanya mendapatkan bagian terbesar karena banyak yang harus ditanggungnya.
Di pusat sawah lingko terdapat teno,
 yaitu kayu yang menjadi titik pusat ditariknya garis menuju batas 
terjauh. Dulu biasanya ditanam ‘pohon teno’ yang akirnya disebut teno. Pusat ini juga disebut lodok. Di Cancar, teno di pusat sawah lingko ditandai oleh sebuah kayu berbentuk simbol ketuhanan yang satu, yaitu mangka. Yang menguasai sebuah petak dalam lodok diatur oleh tu’a teno.
 Ada yang disebut warga beo yang merupakan pewaris tanah yang berhak 
memilikinya dan juga ada pendatang yang berasal dari hasil perkawinan.
Secara fisik, sebuah tanah lingko
 menjadi sebuah daya tarik luar biasa. Berawal dari pembagian tanah yang
 didasari sistem adat, tanah lingko muncul dalam pandangan pelancong 
sebagai keunikan yang tidak ada bandingannya. Secara fisik maupun 
filosofis, lingko di Cancar merupakan ‘keanehan’ yang begitu mengasyikan untuk dilihat atau diabadikan sebuah kamera.
Cancar adalah sebuah kawasan yang paling jelas dan dekat dengan Ruteng
 untuk melihat tradisi pembagian tanah lingko ini. Pemandu wisata 
biasanya akan mengantar Anda ke Golo Cara yang berjarak 12 kilometer 
dari Ruteng dan menghentikan kendaraan di sebuah kampung di kaki bukit. 
Sebaiknya tanyakan dimana mbaru gendang di daerah tersebut untuk mendapatkan penjelasan dan pemahaman yang lengkap.
Di atas bukit yang tidak begitu tinggi, 
jalan setapak berakhir. Tanpa fasilitas wisata yang berarti karena belum
 menjadi sebuah daerah kunjungan wisata resmi, Cancar menampilkan sebuah
 kemewahan budaya yang tak terbayangkan akan ada di Indonesia. 
Nikmatilah apa yang dapat dijaring oleh penglihatan kita saat di atas 
bukit, dan di sanalah jaring laba-laba raksasa berbentuk sawah lingko 
tertata.

